Sutan Syahrir
(ejaan lama : Soetan Sjahrir) (lahir di Padang
Panjang, Sumatera Barat,
5 Maret
1909 – meninggal
di Zürich,
Swiss,
9 April
1966
pada umur 57 tahun) adalah seorang politikus
dan perdana menteri
pertama Indonesia.
Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia
dari 14 November
1945
hingga 20 Juni
1947.
Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia
pada tahun 1948.
Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP
Kalibata, Jakarta.
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad
Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti
Siti Rabiah yang berasal dari |Koto Gadang, Agam. Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad)
di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang
terkemuka.
Sekolah MULO di Medan (sekitar tahun
1925) Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan
membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel
Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu
kulit putih.
Pada 1926, ia selesai dari MULO,
masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia
bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai
sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk
membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya
Universitas Rakyat.
Di kalangan siswa sekolah menengah
(AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa
yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia
aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi
pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu
dalam Tjahja Volksuniversiteit.
Aksi sosial Syahrir kemudian
menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam
perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh
orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië.
Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor
penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan
Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah,
Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah
himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir
kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita
pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi
agar tak dibaca para pelajar sekolah.
Syahrir melanjutkan pendidikan ke
negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas
Amsterdam.
Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat
dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub
Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi
Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).
Dalam tulisan kenangannya, Salomon
Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian
jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau
kapitalisme dengan bertahan hidup secara
kolektif – saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih
mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada
Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Selain menceburkan diri dalam
sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan
Indonesia
(PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia
Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia
dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional
Indonesia
(PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di
kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan
jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan
lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat
Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat
harus menjadi tugas utama pemimpin politik.
Pengujung tahun 1931, Syahrir
meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan
nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia
(PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri
dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam
pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat
Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum
politik. Mei
1933,
Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta kemudian kembali ke tanah air
pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir
mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan.
Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan
Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya
yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup
sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara
cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap
bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi
revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda
menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa
pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan
malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan
selama enam tahun.
Sementara Soekarno dan Hatta
menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah
tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh
karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di
saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir
adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader
muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior
pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:
“
|
"Di
bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan
subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya
saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan."
|
”
|
Situasi
objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu.
Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi
mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak
bisa menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita
tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan
gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan
Hatta untuk memproklamasikan
kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan
massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai
simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita
menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan
dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai
prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan
pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda,
sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI
adalah bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik
Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan
kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena
itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya
konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi.
Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak
kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan
kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis
Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan
republik.
Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita.
Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis
ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul
menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan
kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan
Kita,
membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat
terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap
persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental.
Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci.
Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak
pergerakan."
Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno
bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme,
musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya
agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata
Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis
Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha
untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang
memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi
gerakan kemerdekaan di masa depan."
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda
dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun,
mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik
Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar
Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang
terjadi pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang
dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda. Kelompok ini menginginkan
pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut
pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor
Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Partai Komunis
Indonesia.
Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan
ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok
tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil
ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang
dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan
membebaskan ke 14 pimpinan penculikan. Presiden Soekarno marah mendengar
penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta,
untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto
menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri.
Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari
Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas
penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).
Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan
menerbitkan catatan tentang peristiwa pemberontakan ini dalam buku
otobiografinya Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya. Lt. Kol. Soeharto berpura-pura
bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan perlindungan pada Mayjen
Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam
harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan
pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta.
Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden
dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan
pemberontak.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan
pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana
Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden.
Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli
1946
yang gagal.
Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai
Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden
Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir
sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan
Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.
Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang
telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir
tidak berdaya apa-apa. Syahrir mengakui Soekarno-lah
pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia.
Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda
mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan
Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu
tak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti
dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang
mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan
meruntuhkan seluruh ‘bangunan’. Agar Republik Indonesia tak runtuh
dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan
siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil
menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga
yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan
pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni
kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu
menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa
yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan
diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap
melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang
brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda,
melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda
sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi
penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh
para wartawan luar negeri.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang
anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan
ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya
macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu
kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan
mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab
bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para
pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan
bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten
memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol
menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih.
Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando
tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk
berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de
facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru
mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat
Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan
Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York
melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil
bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang
berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial.
Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah
disampaikan wakil Belanda, Eelco
van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai
sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB
pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk
menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata
urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda
dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan
itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang
internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir.
Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta
besar Belanda di Turki.
Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput
sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia
semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling
Diplomat. Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2
kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus
Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.
Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi
penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada
tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis
Indonesia
(PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan
komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang sistem
kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme
adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung
persamaan derajat tiap manusia.
Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering
dijuluki Si Kancil, Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga
dirgantara, pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada
kesempatan kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu juga senang sekali dengan
musik klasik, di mana beliau juga bisa memainkan biola.
Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus
PRRI tahun 1958[3], hubungan Sutan Syahrir dan
Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI
dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan
dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir
diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang
pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan
air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
Dr.(H.C.) Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Fort de Kock, Sumatera
Barat, 12
Agustus 1902 – meninggal
di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77
tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia
mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih
dengan Presiden Soekarno.
Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai penghormatan
terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika
dilahirkan adalah Muhammad Athar.
Anak perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia dimakamkan di
Tanah Kusir, Jakarta.
Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau,
Sumatera
Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi,
dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya
ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian
masuk ke HBS
(setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar
tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta
melanjutkan studi ke MULO
di Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang
"Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat
baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam,
Belanda
untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa
inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di
Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.
Pada tangal 27 November
1956, Bung Hatta
memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam
Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
Pidato pengukuhannya berjudul "Lampau dan Datang". Saat berusia
15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri
ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik
yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Di Batavia,
ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara. Ketika di
Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah
berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal
tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak
tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913
sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-pemerintah mereka di media massa.
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier
sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB)
Cabang Padang.
Di kota ini Hatta
mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat
dan politik,
salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran
terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto
dalam surat kabar
Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang
karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan
politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah
Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul
Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau,
terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan
pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta
dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang
roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam;
anggota Volksraad;
dan pegiat dalam majalah
Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan
Peroebahan.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah
tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia
untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di
sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera,
“Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya
yang terbujuk kawin
lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana
dari Hindustan,
datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi
Wolandia terlalu miskin
sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan
anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena
diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan
tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi
dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder
Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar
pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air.
Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa Melayu.
Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam
rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua
sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada
persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi
dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak
dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta
menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus
berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada
medio tahun
1922, terjadi peristiwa
yang mengemparkan Eropa,
Turki
yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul
mundur tentara
Yunani
yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis
menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia.
Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak
surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.
Perangko Satu Abad Bung Hatta diterbitkan
oleh PT Pos Indonesia tahun 2002 Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September
1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat
itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya,
Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan
pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging
semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes
Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran
akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta,
tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi
penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia
Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi
informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak
ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging, pergerakan putra
Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische
Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula,
nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah,
yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem
kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.
Hatta mengawali karier pergerakannya di
Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu
berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische
Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum
suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika
itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi
Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie
menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik.
Dalam forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan
bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau
Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung
dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah
ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal
Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap
pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato
pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
Pada
tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan
bergabung dengan organisasi Club
Pendidikan Nasional
Indonesia
yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses
pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat
sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari
setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena
peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Nopember
1945 di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri,
yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida
Nuriah.
Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi
Swasono
dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat
menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad
Athar Baridjambek.
Bung Hatta
adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan
kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat
dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu
merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga ai disebut
sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”.
Berbagai tulisan
dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari
masa kecil, remeja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan
Indonesia. Namun ada hal yang rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu
melihat Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik, hal ini
dikaitkan dengan usaha melihat perkembangan kegiatan politik dan ketokohan
politik di dunia politik Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita ikut
melihat perjuangan dan perjalanan kegiatan politik Bung Hatta.
Setelah perang
dunia I berakhir generasi muda Indonesia yang berprestasi makin banyak yang
mendapat kesempatan mengenyam pendidikan luar negeri seperti di Belanda, Kairo
(Mesir). Hal ini diperkuat dengan diberlakukannya politik balas budi oleh
Belanda. Bung Hatta adalah salah seorang pemuda yang beruntung, beliau mendapat
kesempatan belajar di Belanda. Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi
Bung Hatta, sebenarnya telah tumbuh sewaktu beliau berada di Indonesia. Beliau
pernah menjadi ketua Jong Sematera (1918-1921) dan semangat ini makin membara
dengan asahan dari kultur pendidikan Belanda / Eropa yang bernafas demokrasi
dan keterbukaan.
Keinginan dan
semangat berorganisasi Bung Hatta makin terlihat sewaktu beliau mulai aktif di
kelompok Indonesische Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-pemuda
Indonesia yang memikirkan dan berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam
organisasi ini dinyatakan bahwa tujuan mereka adalah : “ kemerdekaan bagi
Indonesia “. Dalam organisasi yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta
makin “tahan banting” karena banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka
hadapi.
Walau mendapat
tekanan, organisasi Indonesische Vereeniging tetap berkembang bahkan Januari
1925 organisasi ini dinyatakan sebagai sebuah organisasi politik yang kemudian
dinamai Perhimpunan Indonesia (PI). Dan dalam organisasi ini Bung Hatta
bertindak sebagai Pemimpinnya. Keterlibatan Bung Hatta dalam organisasi dan
partai poltik bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda beliau
juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno tahun
1927. Dalam organisasi PNI, Bung Hatta menitik beratkan kegiatannya dibidang pendidikan.
Beliau melihat bahwa melalui pendidikanlah rakyat akan mampu mencapai
kemerdekaan. Karena PNI dinilai sebagai partai yang radikal dan membahayakan
bagi kedudukan Belanda, maka banyak tekanan dan upaya untuk mengurangi
pengaruhnya pada rakyat. Hal ini dilihat dari propaganda dan profokasi PNI
tehadap penduduk untuk mengusakan kemerdekaan. Hingga akhirnya Bunga Karno di
tangkap dan demi keamanan organisasi ini membubarkan diri.
Tak lama setetah
PNI (Partai Nasional Indonesia) bubar, berdirilah organisasi pengganti yang
dinamanakan Partindo (Partai Indonesia). Mereka memiliki sifat organisasi yang
radikal dan nyata-nyata menentang Belanda. Hal ini tak di senangi oleh Bung
Hatta. Karena tak sependapat dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai
Nasional Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini
didirikan di Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai
pemimpi. Organisasi ini memperhatikan “ kemajuan pendidikan bagi rakyat
Indonesia, menyiapkan dan menganjurkan rakyat dalam bidang kebathinan dan
mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat dengan landasan
demokrasi untuk kemerdekaan “.
Organisasi ini
berkembang dengan pesat, bayangkan pada kongres I di Bandung 1932 anggotanya
baru 2000 orang dan setahun kemudian telah memiliki 65 cabang di Indonesia.
Organisasi ini mendapat pengikut dari penduduk desa yang ingin mendapat dan
mengenyam pendidikan. Di PNI Pendidikan Bung Hatta bekerjasama dengan Syahrir
yang merupakan teman akrabnya sejak di Belanda. Hal ini makin memajukan
organisasi ini di dunia pendidikan Indonesia waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan
aksi dari PNI Pendidikan dilihat Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan
mereka sebagai penjajah di Indonesia dan mereka pun mengeluarkan beberapa
ketetapan ditahun 1933 diantaranya:
- Polisi
diperintahkan bertindak keras terhadap rapat-rapat PNI Pendidikan.
- 27
Juni 1933, pegawai negeri dilarang menjadi anggota PNI Pendidikan.
- 1
Agustus 1933, diadakan pelarangan rapat-rapat PNI Pendidikan di seluruh
Indonesia.
Akhirnya ditahun
1934 Partai Nasional Indonesia Pendidikan dinyatakan Pemerintahan Kolonial
Belanda di bubarkan dan dilarang keras bersama beberapa organisasi lain yang
dianggap membahayakan seperti : Partindo dan PSII. Ide-ide PNI Pendidikan
yang dituangkan dalam surat kabar ikut di hancurkan dan surat kabar yang
menerbitkan ikut di bredel. Namun secara keorganisasian, Hatta sebagai pemimpin
tak mau menyatakan organisasinya telah bubar. Ia tetap aktif dan berjuang untuk
kemajuan pendidikan Indonesia.
Soekarno yang
aktif di Partindo dibuang ke Flores diikuti dengan pengasingan Hatta dan
Syahrir. Walau para pemimpin di asingkan namun para pengikut mereka tetap
konsisten melanjutkan perjuangan partai. PNI Pendidikan tetap memberikan kursus-kursus,
pelatihan-pelatuhan baik melalui tulisan maupun dengan kunjungan kerumah-rumah
penduduk.
Dalam sidang
masalah PNI Pendidikan M.Hatta, Syahrir, Maskun, Burhanuddin ,Bondan dan
Murwoto dinyatakan bersalah dan dibuang ke Boven Digul (Papua). Demi harapan
terciptanya ketenangan di daerah jajahan. Walau telah mendapat hambatan yang
begitu besar namun perjuangan Hatta tak hanya sampai disitu, beliau terus
berjuang dan salah satu hasil perjuangan Hatta dan para pahlawan lain tersebut
adalah kemerdekaan yang telah kita raih dan kita rasakan sekarang.
Sebagai tulisan
singkat mengenai sejarah ketokohan Muhammad Hatta di organisasi dan partai
politik yang pernah beliau geluti, kita haruslah dapat mengambil pelajaran dari
hal ini. Karena sejarah tak berarti apa-apa bila kita tak mampu mengambil
manfaat dan nilai-nilai positif didalamnya. Dari kehidupan Hatta di dunia
politik kita bisa melihat bahwa : Munculnya seorang tokoh penting dan
memiliki jiwa patriot yang tangguh dan memikirkan kehidupan orang banyak serta
memajukan bangsa dan negara “bukan hanya muncul dalam satu malam” atau bukanlah
tokoh kambuhan yang muncul begitu saja, dan bukanlah sosok yang mengambil
kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan dan sosok pemerhati masyarakat. Tapi
tokoh yang dapat kita jadikan contoh dan panutan dalam organisasi, partai, dan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesunguhnya adalah seorang sosok yang
lahir dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat, ia terlatih untuk mampu memahami
keinginan dan cita-cita masyarakat, serta bertindak dengan menggunakan ilmu dan
iman.
Seiring dengan
meruaknya wacana demokrasi, terutama di era reformasi kita bisa melihat bahwa
di Indonesia berkembang berbagai partai baru yang jumlahnya telah puluhan.
Dalam kenyataanya memunculkan nama-nama baru sebagai tokoh, elit partai, elit
politik yang berpengaruh di berbagai partai tersebut. Ada juga tokoh politik
yang merupakan wajah-wajah lama yang konsisten di partainya atau beralih
membentuk partai baru. Apakah mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh,
elite politik / elite partai?. Sebagai salah satu sosok tokoh ideal, dengan
mencontoh ketokohan Bung Hatta kita harus mampu melihat berapa persen diantara
tokoh-tokoh, orang-orang penting, elite politik / elite partai di Indonesia
sekarang yang telah memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen diantara
mereka yang sudah melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat
Indonesia baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain.
Dalam
kenyataannya, kebanyakan kita melihat tokoh politik, elite politik dan
tokoh-tokoh partai di Indonesia dewasa ini kurang memperhatikan kehidupan dan
kemajuan masyarakat. Mereka hanya mengambil simpati masyarakat disaat-saat
mereka membutuhkan suara dan partisipasi penduduk, seperti saat-saat akan diadakannnya
pemilihan umum (nasional), saat diadakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada),
setelah kegiatan itu berlangsung mereka mulai meninggalkan dan melupakan
masyarakat. Namun ada beberapa partai dan tokoh yang sering terlihat dalam
berbagai kegiatan social dan memperhatikan masyarakat.
Apakah kita
masih menganggap bahwa seorang penjahat, pemaling (koruptor) yang lolos dari
sergapan hukum sebagai tokoh panutan kita di organisasi, partai politik,
pemerintahan, atau kehidupan sehari-hari?. Jadi pantaslah kita belajar dari
ketokohan Muhammad Hatta dalam kehidupan politiknya yang selalu bertindak demi
kesejahteraan dan kemajuan rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar